03 November 2010

Contoh Kasus Pembunuhan

PEMBUNUHAN SENGAJA
indosiar.com, Bandung - Kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap pasangan suami istri di Bandung, Jawa Barat Rabu (10/09) kemarin, direkonstruksi polisi. Rekonstruksi menghadirkan tersangka Firmansyah. Dia mengaku tega menghabisi nyawa kedua majikannya karena dendam sering diperlakukan dengan kejam termasuk diberi makan nasi basi.
Jalannya rekonstruksi kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap pasangan suami istri Ronald Alimudin dan Sri Magdalena kemarin, menyita perhatian warga komplek Cipta Graha, Bandung, Jawa Barat.
Tersangka yang merupakan pembantu korban langsung dibawa polisi masuk ke rumah korban untuk memperagakan 55 adegan pembunuhan sesuai berita acara pemeriksaan (BAP). Mulai cara tersangka menghabisi kedua majikannya, termasuk saat memengal kepala dan kedua lengan korban Sri Magdalena serta saat merebusnya.
Aksi pembunuhan sadis dilakukan tersangka menggunakan linggis serta sebilah golok. Selain didalam rumah, 11 adegan lainnya diperagakan diluar rumah saat tersangka sempat melayani pembeli di toko milik korban.
Tindakan sadis tersangka dipicu rasa sakit hati sekaligus dendam yang lama dipendam tersangka atas perlakuan kejam majikannya. Bahkan tersangka juga mengaku sering diberi makan nasi basi oleh korban. Kasus pembunuhan disertai mutilasi ini terjadi 30 Agustus lalu. Tersangka berhasil diringkus di rumah saudaranya di Saguling, Kabupaten Bandung Barat sehari setelah menghabisi kedua majikannya secara sadis. (Cecep Hendar/Sup)


PEMBUNUHAN TIDAK SENGAJA
Polisi Janji Tuntaskan Kasus Peluru Nyasar di Cilincing
JAKARTA--MICOM: Seorang remaja tertembak peluru nyasar di wilayah Cilincing, Jakarta Utara. Dia adalah Satria Indra Lesmana, 14. Saat ini kondisinya membaik. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. "Kalau itu dari mana larinya belum kita ketahui dari mana itu peluru belum kita keatahui. Siapa pun yang melakukan itu akan kita tindak, sementara kasusnya masih dalam penyelidikan," ujar Kapolda Metro Jaya, Irjen Sutarman, di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (19/10).
Sebelumnya, Satria yang sedang asik minum es tiba- tiba tertembus timah panas di jari tangan sebelah kanan, perut bagian kanan, dan tulang kaki bawah sebelah kanan. Saat itu polisi sedang mengejar sekelompok bajing loncat di Jalan Diponogoro, Cilincing, Jakarta Utara pada 13 Oktober lalu. (*/OL-8)


PEMBUNUHAN SEMI SENGAJA
Ibu Pembunuh Bocah dengan Bantal, Diduga selalu Menganiaya Anaknya
ORTALKRIMINAL.COM - JAKARTA : Pemeriksaan sementara terhadap pelaku pembunuhan bocah Anisa, 2 tahun, yang dibekap dengan bantal oleh ibunya berinisial, AMD, 25 tahun, diduga selalu menganiaya anaknya. Perbuatan sadis ibu muda tersebut terkuak setelah memeriksa lima saksi."Ya, pengakuan tetangga yang kita periksa bahwa pelaku suka menganiaya anaknya," ujar Kasat Reskrim Polres Jakarta Pusat Kompol Suwondo, saat dihubungi Portalkriminal.com, Minggu (17/1/2010). Katanya, ke-lima saksi yang diperiksa tersebut berasal dari tetangga pelaku termasuk suaminya Safrudin, 28 tahun, yang bekerja sebagai tukang sate. Ibu satu anak ini, ujar Suwondo, kini meringkuk di ruangan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). "Kita, belum punya tahanan wanita, jadi kita tahan di ruangan PPA" ujarnya. Seperti telah diwartakan, seorang bocah tanpa dosa tewas dibunuh ibunya sendiri dengan cara membekap dengan bantal di Jalan Kartini 13 Sawah Besar, Jakarta Pusat, Jumat kemarin. Peristiwa biadab itu dilakukan terhadap anaknya, Anisa, 2 tahun, karena kesal kepada suaminya, Safrudin, 28 tahun. Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi Jumat malam kemarin dan baru dilaporkan oleh suaminya Sabtu. Dalam pemeriksaan, tersangka melakukannya karena suka kesal terhadap suaminya jika keinginannya tak terpenuhi.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, kini pelaku tersebut meringkuk di sel tahanan Mapolres Jakarta Pusat. Pelaku bisa dijerat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (gan)

Al- Jinayat (Pidana)

DEFINISI JINAYAT

Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. (Subulus Salam III: 231).Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar diat. (Manarus Sabil II: 315)

KLASIFIKASI PEMBUNUHAN

Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan karena keliru. Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya. Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud tidak memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia. Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena kelliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.

AKIBAT HUKUM YANG MESTI DIEMBAN PELAKU PEMBUNUHAN

Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga, maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus membayar diat bagi keluarga si pembunuh. Allah swt berfirman;
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (iidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)
Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat. Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah: 178).
Diat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan meenuntut selain diat, walaupun nilainya lebih besar daripada diat. Hal ini didasrkan pada sabda Nabi saw:
“Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepadasi pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no: 1406 dan Ibnu Majah II: 887 no: 2626).
Namun mema’afkan secara cuma-cuma, tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang amat sangat utama lagi mulia. Firman-Nya:
“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Baqarah: 237)
Nabi saw bersabda:
“Dan, Allah tidak menambah pada seorang karena pemaafannya, melainkan kemuliaan.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1894, Muslim IV: 2001 no: 2588 dan Tirmidzi III: 254: 2098)

SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH

Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:

1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda:
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi saw:
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh.
4. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw bersabda:
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:

Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu yaitu dari pengakuan dari pelaku atau kesaksian dua orang laki-laki yang adil.



REFERENSI :

Arief Hikmah. (2009). Al- Jinayat (Pidana). http://ariefhikmah.com/pidana/al-jinayat-pidana/. Diakses tanggal 16 Oktober 2010.

05 Agustus 2010

Ilmu Dloruri dan Ilmu Muhtasab

Ilmu Dloruri

Ilmu yang masih bisa berubah hukumnya. Ilmu yang tidak melalui proses pemikiran (kajian) & pembuktian ataupun penggunaan dalil. Sebagaimana ilmu/pengetahuan tentang sesuatu yang didapat dari salah satu pancaindera, yaitu indera penglihat, indera pendengar, indera peraba, indera pengecap, dan indera pembau atau bias juga disebut sebagai berita yang mutawattir ( sambung menyambung dan diriwayatkan banyak orang).

Asal kata : Dlorro-yudlorru-dloriiron يضر

Contoh kasus : Babi haram, tetapi bisa menjadi hala bila dalam

keadaan dlorurot.

Dalil Naqli : Al Maidah 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)

Artinya :

3. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[394]. Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.

[395]. Maksudnya ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.


[396]. Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. Orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.

[397]. Yang dimaksud dengan hari ialah: masa, yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.


[398]. Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.


Ilmu Muhtasab


Ilmu yang sudah baku hukumnya. Pengetahuan tentang sesuatu yang didapat atau dihasilkan melalui proses pemikiran (kajian) dan pembuktian/penggunaan dalil. Seperti, pengetahuan bahwa alam ini adalah baru . Pengetahuan ini didasarkan atas pemikiran/kajian terhadap alam dan hal-hal yang dikajikan di alam ini, berupa pergantian & perubahan.



Asal kata
: Hasaba
Contoh kasus :
Qishaash, (hukuman bagi pendosa)
Dalil naqli : An Nuur 2

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ (2)

Artinya :

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.



REFERENSI :

Doremifahil. (2008). Ilmu Dloruri dan Muhtasab. http://hilmazarina.blogspot.com/2008/08/ilmu-dloruri-dan-muhtasab.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2010.

29 Juli 2010

Pengertian Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

Pengertian Ilmu Fiqih

Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;

“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”

Hadits Nabi :

“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).

Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”.

REFERENSI :

Pusat Informasi Pendidikan. (2009). Pengertian Ilmu Fiqih. http://rumahbelajar.com. Diakses tanggal 29 Juli 2010.

Definisi Ushul Fiqih

A. Sebagai Susunan Idlafiyah

Untuk menjelaskan ini, lafadz ushul al fiqih harus dipisah, yakni menjadi ushul dan al fiqih.
Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl. Secara etimologi berarti: asal-muasal dari sesuatu, baik secara inderawi maupun rasio. Ulama ushul biasa menggunakan kata ‘ashl’ untuk beberapa makna di bawah ini:

1. Dalil
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal masalah ini adalah ijma’’ adalah berarti “dalil masalah ini adalah ijma’”. Jadi, ushul fiqih dengan makna ini berarti: dalil-dalil fiqih, sebab fiqih dibangun berdasarkan dalil-dalil rasional.

2. Rujukan
Kita ambil sebuah contoh, pernyataan: “asal dari ucapan itu adalah hakikatnya” adalah berarti “rujukan ucapan itu adalah kembali pada hakikat, bukan majas”. Pernyataan “asal qiyas adalah al Quran” adalah berarti “rujukan qiyas adalah al Quran”.

3. Kaidah
Pernyataan “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari asal” adalah berarti “kebolehan makan bangkai bagi orang yang terpaksa adalah pengecualian dari kaidah umum”. Pernyataan “hukum asal dari fa’il adalah rofa’” adalah berarti (kaidah umum yang berlaku adalah fa’il dibaca rofa’) atau (fa’il harus dibaca rofa’ merupakan kaidah ilmu Nahwu).

4. Hukum Asal

Pernyataan “hukum asal adalah bebas dari tanggungan” berarti “yang dijadikan hukum asal adalah bebasnya seseorang dari sebuah tanggungan, selama tidak ada hal yang menetapkan tanggungan itu padanya.”

Secara etimologi, fiqih berarti: “mengerti atau paham”. Yang dimaksud mengerti bukanlah mutlak mengetahui, melainkan memahami secara mendalam, mendetail dan kontekstual, hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ‘fiqih’ dalam al Qur’an, di antaranya surat Hud: 91, “Mereka (penduduk Madyan) berkata: hai Syu’aib, kami tidak terlalu mengerti tentang apa yang kamu katakan.” Dan surat An Nisa’: 78, “Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?.”

Menurut terminologi ulama, fiqih adalah: diskursus tentang hukum-hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Atau fiqih adalah hukum itu sendiri.

Penjelasan: Ahkam yang merupakan bentuk plural dari hukum mempunyai arti “menetapkan sesuatu”, baik dalam bentuk kalimat negatif maupun positif. Contoh: “matahari terbit” atau “matahari tidak terbit” dan “air itu panas” atau “air itu tidak panas”.

Akan tetapi yang dimaksud dengan ahkam dalam ilmu ushul fiqh adalah: ketetapan yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni wujub (wajib), nadb (sunnah), hurumah (haram), karahah (makruh), ibahah (mubah), shihhah (sah), fasad (rusak) atau buthlan (batal).
Tidak harus mencakup semua hukum syariah untuk bisa disebut fiqh, tetapi cukup sebagiannya saja. Orang yang mengetahui fiqih disebut dengan faqih, selama dia memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath.

Syariah: Hukum-hukum itu harus bernuansa syariah, yakni diambil dari dalil syariah (al Qur’an dan hadits) baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian, hukum yang tidak bernuansa syariah tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqih seperti (1) hukum akal. Misalnya: keseluruhan itu lebih banyak dari sebagian, satu adalah separuh dari dua, alam adalah baru. (2) hukum inderawi, yakni hukum rasa. Misalnya: api panas. (3) trial (eksperimen). Misalnya: racun yang dapat membunuh. (4) hukum asas/dasar. Misalnya : kaana dan yang berlaku seperti kaana berfungsi me-rafa’-kan mubtada’ dan me-nashab-kan khabar.

Amaliyah: yakni berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yakni shalat, jual-beli, tindak pidana dan hal-hal lain terkait ibadah dan mu’amalah. Oleh karena itu, sesuatu yang tidak berhubungan dengan perbuatan tidak termasuk dalam hukum yang dimaksud oleh ilmu ushul fiqih seperti (1) akidah atau kepercayaan. Misalnya: iman kepada Allah dan hari kiamat. (2) akhlak atau etika. Misalnya: keharusan jujur dan larangan dusta. Hal-hal di atas tidak dibahas dalam ilmu ushul fiqih, tetapi dibahas dalam ilmu tauhid/kalam dan ilmu akhlak/tashawuf. Penetapan (muktasabah): yakni ditetapkan berdasarkan dalil spesifik dengan jalan penelitian (an-nadhr) dan pengambilan dalil (istidlal). Berdasarkan penjelasan di atas, maka ilmu Allah terhadap hukum, ilmu Rasulullah dan para penganutnya tidak dapat disebut dengan fiqih dan orangnya tidak dapat dipanggil ‘faqih’. Alasannya, ilmu Allah terhadap hukum dan dalil adalah sifat yang melekat pada dzat-Nya, ilmu Rasulullah didapat dari wahyu, bukan hasil penetapan, dan ilmu para penganut (mukallid) Rasul didapat dari taklid (ikut), bukan hasil penelitian atau ijtihad.
Dalil spesifik (tafsil): suatu dalil partikular (juz’i) yang membahas masalah khusus dan telah memiliki nash tersendiri. Contoh:

a) Firman Allah :

“…diharamkan bagimu ibu-ibumu…” (An-Nisa’: 23). Ayat ini adalah dalil spesifik atau dalil partikular yang membahas masalah khusus, yakni menikahi ibu. Dan telah menunjukkan hukum yang spesifik pula, yakni haram menikahi ibu.

b) Firman Allah :

“…janganlah kamu mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan…” (Al-Isra’: 32). Ayat ini adalah dalil particular (juz’i) dengan mengangkat masalah khusus, yakni zina. Hukumnya juga khusus, yakni haramnya zina.

c) Firman Allah :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka semua kekuatan yang kamu mampu dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang…” (Al-Anfal: 60). Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan. Hukumnya juga khusus, yakni wajibnya menyiapkan kekuatan yang dimiliki pasukan untuk menumpas musuh.

d) Sabda Nabi SAW :

“Membunuh dengan sengaja harus diqishash”. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni membunuh dengan sengaja. Hukumnya juga khusus, yakni qishash.

e) Ijma’ (konsensus) ulama tentang bagian 1/6 yang diperoleh nenek dari harta waris. Adalah dalil partikular dengan masalah khusus, yakni bagian waris nenek. Hukumnya khusus yakni wajib memberi nenek bagian 1/6 dari harta waris.

Contoh-contoh di atas itulah yang dimaksud dengan dalil spesifik (tafsili), dalil yang menunjukkan hukum suatu masalah. Dalil spesifik inilah yang menjadi objek pembahasan ulama fiqh sebagai sarana untuk mencari tahu hukum yang akan timbul darinya dengan menggunakan kaidah-kaidah pencetusan hukum dan metode pengambilan dalil yang terdapat dalam ilmu ushul fiqih. Ulama ushul fiqih (ushuliyyun) tidak membahas dalil spesifik ini, tetapi membahas dalil umum (ijmal) atau dalil universal untuk menemukan hukum-hukum universal pula yang pada akhirnya untuk meletakkan suatu kaidah yang dapat digunakan oleh ulama fiqih untuk menerapkan dalil-dalil spesifik/partikular yang bertujuan untuk mengetahui hukum syariah.

B. Definisi Ushul Fiqh Secara Terminologis

Sebagai sebutan dari sebuah ilmu, ushul fiqih adalah: sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqih sesuai cakupan kaidah dan dalil itu.
Kaidah adalah: diskursus umum yang mencakup hukum partikular (juz’i), dengan kaidah inilah hukum juz’I dapat diketahui . Kaidah “Al-Amru yufid al-wujub illa idza sharafathu qarinatuh ‘an dzalik” (Amar (perintah) menunjukkan wajib, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari wajib). Kaidah ini mencakup semua nash partikular. Seperti firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu…” (Al Maidah: 1) dan “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah pada Rasul…” (An Nur: 59) semua kata yang menunjukkan amar (perintah) masuk dalam kategori kaidah di atas. Dengan kata amar itulah hukum wajib dalam ayat-ayat itu dapat diketahui. Seperti wajibnya menepati janji, wajibnya shalat, menunaikan zakat dan taat pada Rasul. Contoh kaidah: “Nahi (larangan) menunjukkan haram, kecuali jika ada indikasi yang dapat memalingkannya dari haram”. Kaidah ini mencakup semua nash yang nenujukkan kata nahi (larangan), dengan kata nahi itulah hukum haram dalam nash-nash itu dapat diketahui. Seperti firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mendekati zina…” (Al Isra’: 32) dan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara batil. (An-Nisa’: 29), dengan kaidah itu, maka diketahui bahwa hukum melakukan zina adalah haram, begitu pula makan harta dengan cara batil. Dengan contoh kaidah di atas, seorang mujtahid dapat mencetuskan hukum fiqih, yakni mencetuskan hukum syariah perbuatan (amaliyah) yang ditetapkan berdasarkan dalil spesifik. Jika misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukumnya shalat, maka ia membaca firman Allah, “Aqiimu ash-shalah” (dirikanlah shalat). Karena kata (Aqiimu) adalah bentuk amar (perintah), maka kaidah “amar menunjukkan wajib, kecuali ada indikasi lain” diterapkan, dari penerapan itu kemudian diketahui bahwa hukum melaksanakan shalat adalah wajib. Yang dimaksud dengan dalil ijmal (umum) adalah sumber-sumber hukum syariah, seperti Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Mengetahui dalil ijmal berarti mengetahui argumentasi dan kedudukannya dalam proses pengambilan dalil, mengetahui apa yang ditunjukkan oleh nash, makna dan syarat ijma’, macam-macam Qiyas dan ‘illat-nya (indikasi), metode menemukan ‘illat dan sebagainya. Ulama ushul membahas dalil ijmal yang menunjukkan (memiliki dalalah) hukum syariah. Ulama fiqih membahas dalil juz’i untuk mencetuskan hukum juz’i dengan bantuan kaidah ushul dan mengaitkannya dengan dalil ijmal.

REFERENSI :

IslamWiki. (2009). Defini Ushul Fiqih. http://islamwiki.blogspot.com. Diakses tanggal 29 Juli 2010.

03 Februari 2009

Sejarah Televisi

TV MEKANIK

Mungkin susah untuk dipercaya. Namun, penemuan cakram metal kecil berputar dengan banyak lubang didalamnya yang ditemukan oleh seorang mahasiswa di Berlin-Jerman, 23 tahun, Paul Nipkow[1883], merupakan cikal bakal lahirnya televisi.

Kemudian disekitar tahun 1920, para pakar lainnya seperti John Logie Baird dan Charles Francis Jenkins, menggunakan piringan Nipkow ini untuk menciptakan suatu sistem dalam penangkapan gambar, transmisi, dan penerimaannya. Mereka membuat seluruh sistem televisi ini berdasarkan sistem gerakan mekanik, baik dalam penyiaran maupun penerimaannya. Saat itu belum ditemukan Cathode Ray Tube [CRT].


Vladamir Zworykin, yang merupakan salah satu dari beberapa pakar pada masa itu, mendapat bantuan dari David Sarnoff, Senior Vice President dari RCA [Radio Corporation of America]. Sarnoff sudah banyak mencurahkan perhatian pada perkembangan TV mekanik, dan meramalkan TV elektronik akan mempunyai masa depan komersial yang lebih baik. Insinyur lain, Philo Farnsworth, juga berhasil mendapatkan sponsor untuk mendukung idenya, dan ikut berkompetisi dengan Vladimir.